Minggu, 31 Maret 2013

Negeri Darurat Korupsi

Indonesia patut dinyatakan sebagai negeri darurat korupsi. Mantan ketua PBNU, Hasyim Muzadi  mengatakan, persoalan kejahatan korupsi sudah merata di Indonesia. Menurutnya, di Indonesia yang sulit bukanlah mencari koruptor tapi mencari orang yang tidak korupsi. Namun, saat koruptornya ketemu, yang sulit juga pembuktiannya.
Indonesia adalah surganya para koruptor. Korupsi berlangsung secara massif dan sistemik, mulai dari level RT/RW sampai pejabat negara, dari suap menyuap surat pengantar sampai proyek bernilai triliunan rupiah, bahkan pengadaan kitab suci Al Quran dikorupsi.
Ibarat kanker kronis, penyakit korupsi membuat negeri ini terpuruk di segala sektor, mulai dari kualitas pendidikan rendah, rusaknya fasilitas infrastruktur dan paling parah lembaga penegak hukum juga tersandung kasus korupsi. Wajar bila para koruptor mendapatkan perlakuan istimewa dari hukuman yang ringan, remisi tahunan sampai bisa lolos dari jeratan hukum.
Fakta menunjukkan antara lain, sejak Oktober 2004, Presiden SBY telah mengeluarkan 176 izin pemeriksaan terhadap para pejabat negara. Rinciannya, 74,43 persen terkait kasus korupsi, 5,11 persen merugikan negara. (vivanews.com).
Bukan hanya birokrat, legislatif dan kader partai juga banyak terlibat kasus korupsi. Indonesia Corruption Watch (ICW) merilis data tren korupsi di Indonesia sepanjang semester I tahun 2012. Hasilnya, terdapat 44 kader partai politik yang terjerat kasus korupsi sepanjang Januari hingga Juni 2012. Sebanyak 21 orang berasal dari kalangan atau mantan anggota dewan, baik di pusat maupun di daerah. Kemudian 21 orang dari kepala daerah atau mantan serta dua orang pengurus partai. (republika.co.id)
Tingkat korupsi yang begitu luas dan massif menobatkan Indonesia terpuruk sebagai negara gagal. Sebagaimana dilansir berbagai media, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara dalam Index Negara Gagal (Failed State Index -FSI) tahun 2012, dengan salah satu indikator dan sub indikatornya persepsi korupsi.
 Solusi Sistemik
Fakta menunjukkan bahwa korupsi lahir dari mekanisme sistem bernegara yang opurtunistik. Selain lemahnya keimanan individual, sistem yang ada memberikan peluang besar bagi aparat untuk melakukan korupsi. Komitmen pengawasan yang masih lemah, sanksi yang sama sekali tidak menakutkan bagi koruptor, sampai ’’mahalnya’’ ongkos yang harus dikeluarkan untuk menjadi seorang aparatur negara/pemerintahan.
Untuk itulah, perombakan sistem adalah langkah yang tidak bisa ditunda-tunda lagi dalam penanganan tindak pidana korupsi. Saatnya menerapkan sistem yang baik, yaitu sistem yang  bersumber dari Dzat yang Maha Baik, yaitu Allah SWT. Itulah sistem syariah, yang digunakan untuk mengurus dan mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Hanya dengan itulah, kehidupan mereka akan dipenuhi berkah dari langit dan bumi
Secara preventif paling tidak  terdapat beberapa  langkah untuk mencegah korupsi menurut Syariah Islam, yaitu,  rekrutmen SDM aparat negara wajib berasaskan profesionalitas dan integritas, bukan berasaskan koneksitas atau nepotisme. Negara juga wajib melakukan pembinaan kepada seluruh aparat dan pegawainya.  Selain itu, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya serta melarang menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara.
Islam juga memerintahkan melakukan perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Khalifah Umar bin Khatthab pernah membuat kebijakan, agar kekayaan para pejabatnya dihitung, sebelum dan setelah menjabat. Jika ada selisih positif, setelah dikurangi gaji selama masa jabatannya, maka beliau tidak segan-segan untuk merampasnya. Beliau juga mengangkat pengawas khusus, yaitu Muhammad bin Maslamah, yang bertugas mengawasi kekayaan para pejabat.
Pada zamannya, beliau juga melarang para pejabat berbisnis, agar tidak ada konflik kepentingan.  Dak tak kalah pentingnya adalah teladan dari pimpinan serta pengawasan oleh negara dan masyarakat.
Kalau memang korupsi telah terjadi, Syariah Islam mengatasinya dengan langkah kuratif dan tindakan represif yang tegas, yakni memberikan hukuman yang tegas dan setimpal. Hukuman untuk koruptor masuk kategori ta’zir, yaitu hukuman yang jenis dan kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang paling ringan, seperti nasehat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan. (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89). Disinilah pentingnya kami tak pernah berhenti menyerukan penerapan syariat Islam guna menyelesaikan segenap problem yang dihadapi negeri ini, termasuk dalam pemberantasan korupsi. Wallahu ‘alam

SUmberhttp://bisnismanajemen.co.id/2012/11/negeri-darurat-korupsi/#

0 komentar:

Posting Komentar