Selasa, 26 Maret 2013

Napak Tilas Dakwah Sunan Bonang



Maulana Makdum Ibrahim, atau Raden Ibrahim atau lebih sering dikenal dengan sebutan Sunan Bonang, nama ini diambil dari bahasa Hindi, yang bermakna cendekiawan Islam yang dihormati karena kedudukannya dalam agama. Sunan Bonang juga mendapat julukan Sunan Wadat Anyakra Wati karena tidak menikah. Makdum adalah gelar untuk orang yang dihormati, seorang ulama besar.

Sunan Bonang diperkirakan hidup antara tahun 1465-1525. Sunan Bonang adalah putra dari Sunan Ampel dan ibunya bernama Nyi Ageng Manila atau Dewi Candrawati. Nyi Ageng Manila adalah anak seorang Tumenggung dari Majapahit bernama Arya Teja yang ditugaskan di Tuban. Sunan Drajat atau Syarifudin termasuk adik Sunan Bonang. Adik bungsunya yang bernama Dewi Sarah menikah dengan Sunan Kalijaga. Semasa kecil, Sunan Bonang sudah mendapat pelajaran dari ayahnya, Sunan Ampel, dengan disiplin yang ketat. Setelah beranjak dewasa, Sunan Ampel mengirim Sunan Bonang dan Sunan Giri (Raden Paku) untuk belajar ke tanah suci Makkah dan ke Pasai (Aceh).

Di Pasai, Sunan Bonang belajar kepada Syekh Awwalul Islam serta sejumlah ulama besar lain yang banyak menetap dan mengajar di Pasai. Para ulama besar ahli tasawuf itu berasal dari Baghdad, Mesir, dan Iran. Kemudian kembali ke Tuban, Jawa Timur dan mendirikan pondok pesantren. Banyak santri-santri dari berbagai pelosok nusantara yang datang untuk belajar kepadanya.

Dalam mengajarkan agama Islam, Sunan Bonang menerapkan kebudayaan Jawa, seperti pertunjukan wayang sebagai media dakwahnya. Nama Bonang dikenal karena beliau sering menggunakan gamelan bonang (semacam gong kecil). Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat).

Gamelan itu kini dikenal dengan istilah Sekaten. Kesenian rakyat ini dimainkan untuk menarik simpati masyarakat yang pada waktu itu sebagian besar masih memeluk agama Hindu.

Selain menggunakan alat musik tradisional, beliau juga menggunakan media Sastra Jawa untuk menyebarkan Islam dengan cara menulis kitab yang disebut dengan Suluk Bonang atau Suluk Wujil.

Wujil yang artinya cebol adalah seorang tokoh terpelajar Majapahit yang meninggalkan agama Hindu dan menjadi penganut Islam yang taat.

Masyarakat tidak ada yang merasa terpaksa dalam mempelajari ajaran agama dan kemudian memeluk agama Islam. Keberhasilan Sunan Bonang dalam menyebarkan agama Islam ditunjukkan dengan membantu berdirinya kerajaan Islam Demak dan pendirian Masjid Agung Demak.

Sunan Bonang memusatkan kegiatan dakwahnya di sekitar Jawa Timur, terutama di daerah Tuban. Sunan Bonang memberikan pendidikan agama Islam secara khusus dan mendalam kepada Raden Fatah, putra raja Majapahit Prabu Brawijaya V, yang kemudian menjadi Sultan Demak.

Catatan pendidikannya itu kini disebut Suluk Sunan Bonang, atau Primbon Sunan Bonang, yang sampai sekarang masih tersimpan di Universitas Leiden, negeri Belanda. Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 dan dimakamkan di Tuban, Jawa Timur.

Sumber :
Lebaran

0 komentar:

Posting Komentar